BPHTB
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
A.
Pengertian
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB.
BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
B. Saat Pembayaran BPHTB
BPHTB harus dibayar apabila melakukan salah satu hal berikut di bawah ini :
a. Akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh PPAT atau Notaris.
b. Risalah lelang untuk pembelian telah ditandatangani oleh Kepala Kantor Lelang atau Pejabat Lelang yang berwenang.
c. Dilakukannya pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya dalam hal pemberian hak baru atau pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim dan hibah wasiat.
Intinya adalah terjadi pemindahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, hadiah, warisan / waris dan pemberian hak baru karena adanya kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak. Sedangkan bentuk pengalihan yang tidak kena BPHTB adalah seperti pengalihan atau perubahan hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, wakaf atau digunakan untuk kepentingan ibadah.
C. Menentukan Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
a. Tarif BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
b. Nilai perolehan objek pajak atau NPOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) yang sewaktu-waktu besarnya dapat dirubah oleh peraturan pemerintah. Sedangkan khusus untuk perolehan karena hak waris dalam satu dahar, sedarah atau keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberian hibah termasuk istri atau suami NJOPTKP atau Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp. 300.000.000.
c. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP) dikurangi dengan nilai perolehan onjek pajak tidak kena pajak.
d. Besar pajak terutang BPHTB adalah didapat dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai perolehan onjek pajak kena pajak (NPOPKP).
D. Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
Wajib pajak membayar pajak BPHTB yang terutang tidak didasarkan pada surat ketetapan pajak atau SKP, melainkan dengan cara menghitung dan membayar sendiri pajak terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan atau disingkat SSB.
Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank pemerintah, Bank DKI dan juga Kantor Pos di wilayah Kotamadya yang meliputi letak tanah dan atau bangunan dengan SSB. Tempat terutang pajak adalah di wilayah kabupaten, kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.
SSB dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan / KP PBB / KPBB yang adal di wilayah DKI Jakarta, PPAT, Notaris, Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan serta Kantor Bank Pemerintah, Bank DKI dan Kantor Pos. Pembayaran BPHTB dapat dilakukan tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak / SKP.
SKP atau Surat Ketetapan Pajak adalah dokumen yang menjelaskan jumlah pajak yang kurang atau lebih bayar yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah adanya pemeriksaan. SKP BPHTB disingkat menjadi SKB (Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). SKB dapat dikeluarkan dalam jangka lima tahun semenjak saat terutang BPHTB. SKB dapat berupa SKBKB untuk yang kurang bayar, SKBLB untuk yang lebih bayar dan SKBN untuk yang nihil atau nol bayar.
E. Sanksi Tidak Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari kekurangan pajak tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan pemeriksaan.
BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB.
BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.
B. Saat Pembayaran BPHTB
BPHTB harus dibayar apabila melakukan salah satu hal berikut di bawah ini :
a. Akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh PPAT atau Notaris.
b. Risalah lelang untuk pembelian telah ditandatangani oleh Kepala Kantor Lelang atau Pejabat Lelang yang berwenang.
c. Dilakukannya pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya dalam hal pemberian hak baru atau pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim dan hibah wasiat.
Intinya adalah terjadi pemindahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, hadiah, warisan / waris dan pemberian hak baru karena adanya kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak. Sedangkan bentuk pengalihan yang tidak kena BPHTB adalah seperti pengalihan atau perubahan hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, wakaf atau digunakan untuk kepentingan ibadah.
C. Menentukan Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
a. Tarif BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
b. Nilai perolehan objek pajak atau NPOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) yang sewaktu-waktu besarnya dapat dirubah oleh peraturan pemerintah. Sedangkan khusus untuk perolehan karena hak waris dalam satu dahar, sedarah atau keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberian hibah termasuk istri atau suami NJOPTKP atau Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebesar Rp. 300.000.000.
c. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP) dikurangi dengan nilai perolehan onjek pajak tidak kena pajak.
d. Besar pajak terutang BPHTB adalah didapat dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai perolehan onjek pajak kena pajak (NPOPKP).
D. Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
Wajib pajak membayar pajak BPHTB yang terutang tidak didasarkan pada surat ketetapan pajak atau SKP, melainkan dengan cara menghitung dan membayar sendiri pajak terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan atau disingkat SSB.
Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank pemerintah, Bank DKI dan juga Kantor Pos di wilayah Kotamadya yang meliputi letak tanah dan atau bangunan dengan SSB. Tempat terutang pajak adalah di wilayah kabupaten, kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.
SSB dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan / KP PBB / KPBB yang adal di wilayah DKI Jakarta, PPAT, Notaris, Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan serta Kantor Bank Pemerintah, Bank DKI dan Kantor Pos. Pembayaran BPHTB dapat dilakukan tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak / SKP.
SKP atau Surat Ketetapan Pajak adalah dokumen yang menjelaskan jumlah pajak yang kurang atau lebih bayar yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah adanya pemeriksaan. SKP BPHTB disingkat menjadi SKB (Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan). SKB dapat dikeluarkan dalam jangka lima tahun semenjak saat terutang BPHTB. SKB dapat berupa SKBKB untuk yang kurang bayar, SKBLB untuk yang lebih bayar dan SKBN untuk yang nihil atau nol bayar.
E. Sanksi Tidak Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB
Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari kekurangan pajak tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan pemeriksaan.
Dasar Hukum
- UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
- KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
3. IV. SUBYEK PAJAK
4.
Subyek
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan
yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan
(2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Pemindahan Hak karena :
- Jual beli
- Tukar Menukar
- Hibah
- Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
- Waris
- Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
- Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
- Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
- Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
- Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
- Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
- Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
- Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
- Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
- Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU
No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah
:
- Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
- Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
- Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
- Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
- Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Pengecualian Obyek Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan
Obyek
pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah
objek pajak yang diperoleh :
- perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
- negara untuk menyelenggarakan pemerintah dan/atau untuk pelaksanaan pembanugnan guna kepentingan umum;
- badan atau perwakilan lebaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
- orang pribadi atau badan karena koversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan adanya perubahan nama;
- orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
- orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah;
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21
Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Tarif pajak yang dikenakan atas
objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).
Dasar Pengenaan
( Pasal 6 UU No. 21
Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB
adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :
- jual beli adalah harga transaksi;
- tukar-menukar adalah nilai pasar;
- hibah adalah nilai pasar;
- hibah wasiat adalah nilai pasar;
- waris adalah nilai pasar;
- pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
- pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
- peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
- pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
- pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
- penggabungan usaha adalah nilai pasar;
- peleburan usaha adalah nilai pasar;
- pemekaran usaha adalah nilai pasar;
- hadiah adalah nilai pasar;
- penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak diketahui
atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan.
Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21
Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud dengan nilai pasar
adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di
sekitar letak tanah dan atau bangunan.
Nilai Perolehan Objek Pajak Yang
Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
( Pasal 7 UU No. 21
Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo.
KMK-516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah
wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah
dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
Tata Cara untuk menentukan besarnya
NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21
Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :
- Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.
- Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak dimulai.
- Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
- Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:
- untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
- untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah);
- untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
- untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
- dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d;
- dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d."
Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21
Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP),
atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak
(NPOPTKP)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak
(NPOPKP)
Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP
|
XXXXX
XXXXX -
XXXXX
XXXXX
|
Contoh
perhitungan PBHTB karena warisan bisa dilihat sebagai berikut:
Seorang
ayah meninggal memiliki sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan, kemudian akan
dilakukan balik nama ke atas nama para ahli waris atau anak-anak dan istrinya.
Karena proses balik nama tersebut para ahli waris diwajibkan membayar BPHTB.
Data-data
tanah objek warisan sebagai berikut:
- Luas 1.000 m2
- NJOP = 1.000.000,- per meter
- NPOP = 1.000 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 1.000.000.000,- sama dengan NJOP total
- NJOPTKP waris adalah Rp. 350.000.000,- (DKI Jakarta)
Besarnya
BPHTB adalah sebagai berikut:
- BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
- BPHTB = 5 % x (Rp. 1.000.000.000 – Rp. 350.000.000) = Rp. 32.500.000,-
Menurut
Utrecht Hukum adalah himpunan peraturan (baik berupa perintah maupun larangan
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk
hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah. Tujuan hukum
mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman,
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melalui proses
pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang
tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.
Unsur-unsur
hukum:
1. Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan
itu diadakan oleh badan-badan resmi.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan
tersebut adalah tegas.
Ciri-ciri
hukum:
a. Adanya
perintah dan larangan.
b. perintah
dan larangan itu harus ditaati semua orang.
Pelanggaran hukum bisa terjadi
dikarenakan pelanggaran etik. Etik
berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang
baik.Perkembangan etik studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan,
menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam
kehidupan pada umumnya. Pengertian Etik Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia,etik adalah:
a) Ilmu
tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
b) Kumpulan
asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak
c) Nilai
mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.
Salah satu
contoh pelanggaran hukum yang disebabkan pelanggaran etika adalah kasus
pencucian uang yang dilakukan oleh pegawai pelayanan pajak Dhana Widyatmika. Seperti
yang dinyatakan dalam Kompas bahwa Dhana terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 12 B Ayat 1
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal
65 Ayat 1 ke-KUHP dan Pasal 12 Huruf e UU Tipikor juncto Pasal
55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan melakukan tindak pidana pencucian uang yang diancam
pidana sesuai dengan Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal
65 Ayat 1 KUHP.
Menurut majelis
hakim, Dhana terbukti melakukan tiga perbuatan pidana. Pertama, menerima
gratifikasi berupa uang senilai Rp 2,75 miliar berkaitan dengan kepengurusan
utang pajak PT Mutiara Virgo. Dhana bersama rekannya, Herly Isdiharsono,
mengurus penyelesaian pajak kurang bayar PT Mutiara Virgo tahun pajak 2003 dan
2004. Atas bantuan para pegawai pajak tersebut, PT Mutiara Virgo hanya membayar
Rp 30 miliar dari nilai Rp 128 miliar.
Kedua, Dhana dianggap terbukti melakukan
tindak pidana pemerasan terhadap PT Kornet Trans Utama. Sebagai ketua tim
pemeriksa khusus wajib pajak PT Kornet, Dhana dan rekannya Salman Magfiron
meminta kepada PT Kornet Trans Utama agar mau memberikan uang Rp 1 miliar
supaya dibantu menurunkan kurang bayar pajak PT Kornet sebesar Rp 3,2 miliar. Akan
tetapi, PT Kornet tidak bersedia sehingga diperhitungkan nilai kurang bayar
pajak Rp 3,9 miliar. Perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud menguntungkan
diri sendiri, orang lain, dengan melawan hukum.
Selain itu, Dhana dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian
uang atas kepemilikan uang Rp 11,41 miliar dan 302.000 dollar AS di
rekeningnya. Pun mengenai harta kekayaan Dhana yang dianggap nilainya tidak
wajar jika melihat posisi Dhana sebagai pegawai negeri golongan III C. Harta
Dhana yang dipermasalahkan di antaranya kepemilikan logam mulia seberat 1.100
gram yang disimpan dalam save deposite box Bank
Mandiri Cabang Mandiri Plaza, Jakarta.
Perbuatan Dhana ini tentunya melanggar kode
etik yang ada dalam Direktorat Jendral Pajak. Kode etik ini diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PM.3/2007 tentang Kode Etik Direktorat Jendral
Pajak yang berlaku mulai tanggal 23 Juli 2007.
Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
berisi kewajiban dan larangan pegawai dalam menjalankan tugasnya serta dalam
pergaulan hidup sehari-hari. Adapun beberapa kewajiban yang harus dilakukan
oleh setiap pegawai antara lain: (i) menghormati
agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat orang lain; (ii) bekerja secara professional,
transparan, dan akuntabel; (iii) mengamankan
data dan atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak; (iv) memberikan pelayanan kepada Wajib
Pajak, sesama pegawai, atau pihak lain dalam pelaksanan tugas dengan
sebaik-baiknya; (v) menaati
perintah kedinasan; (vi) bertanggung
jawab dalam penggunaan barang inventaris milik Direktorat Jenderal Pajak; (vii) menaati ketentuan jam kerja dan tata
tertib kantor; (viii)menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dalam
memenuhi kewajiban perpajakan; dan(ix) bersikap, berpenampilan, dan bertutur
secara sopan. Selain itu pegawai dilarang: (i)bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas; (ii) menjadi anggota atau simpatisan aktif
partai politik; (iii) menyalahgunakan
kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung; (iv) menerima segala pemberian dalam
bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, dari Wajib Pajak, sesama
pegawai, atau pihak lain, yang menyebabkan pegawai yang menerima, patut diduga
memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya; (v) menyalahgunakan data atau informasi
perpajakan; (vi)menyalahgunakan fasilitas kantor; (vii) melakukan perbuatan yang patut diduga
dapat mengakibatkan gangguan, kerusakan dan atau perubahan data pada sistem
informasi milik Direktorat Jenderal Pajak; dan (viii) melakukan perbuatan tidak terpuji
yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan dapat merusak citra serta
martabat Direktorat Jenderal Pajak.
Menurut penulis pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh Dhana ini tentu sangat meresahkan. Selain merugikan kerugian
bagi Negara, kasus ini tentunya mencoret nama baik lembaga yang ia naungi yakni
Dirjen Pajak, karena akibat dari perbuatannya membuat masyarakat mengaggap
bahwa lembaga ini tidak bersih dan tidak dapat melakukan kewajibannya dengan
baik, padahal hal ini hanyalah perbuatan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu
yang tentunya menguntungkan kepentingan pribadinya bukan mengatasnamakan nama lembaga.
Oleh karena itu, sistem dan budaya dalam
birokrasi haruslah diperbaiki lagi. Masyarakat pun diharapkan bisa ambil bagian
dalam pencegahan korupsi dalam birokrasi ini dengan melakukan pengawasan pada
kinerja pada birokrat. Selain itu diperlukan sanksi tegas terhadap para
birokrat yang melakukan korupsi jangan ada system tebang pilih dalam menangani
kasus mereka. Perekrutan para pegawai-pegawai yang akan memasuki birokrasi
tersebut pun haruslah transparan, tidak boleh ada unsur KKN. Karena apabila
perekrutan ini dipenuhi unsure tersebut maka akan melahirkan para oknum-oknum
yang tidak jujur. Mereka akan mencari keuntungan bagi kepentingan pribadi tanpa
mementingkan peraturan yang ada, dengan anggapan “biaya pengorbanan” yang harus
mereka keluarkan untuk memasuki birokrasi. Sehingga budaya KKN ini akan
terus-menerus terjadi dan membuat citra birokrasi semakin buruk.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Subscribe to:
Postingan (Atom)